Scaffolding: Menjadi Guru yang Tahu Kapan Harus Membantu dan Melepaskan
Sebelum memulai proses pembelajaran tentang scaffolding dalam Zona Perkembangan Proksimal (ZPD), saya hanya memiliki gambaran umum bahwa scaffolding adalah bantuan sementara dari guru kepada siswa. Saya mengira konsep ini sederhana dan hanya berlaku untuk peserta didik yang mengalami kesulitan. Namun, saya belum menyadari secara mendalam bagaimana cara menerapkannya secara efektif dalam proses pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Melalui pembelajaran, saya memahami bahwa scaffolding adalah pendekatan strategis yang diberikan dalam proses belajar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik yang berada dalam ZPD-nya. Bantuan ini bukan hanya dari guru, tetapi juga bisa dari teman sebaya atau lingkungan belajar yang mendukung. Saya juga belajar bahwa scaffolding bersifat dinamis dan harus dikurangi secara bertahap saat peserta didik mulai mandiri.
Dalam ruang kolaborasi bersama rekan-rekan, saya semakin memahami pentingnya peran guru dalam mengamati dan menyesuaikan bantuan kepada peserta didik. Diskusi dengan rekan membuka perspektif saya tentang berbagai bentuk scaffolding, mulai dari pertanyaan pemantik, penggunaan alat bantu visual, hingga simulasi. Kami juga saling berbagi pengalaman praktik baik dalam penerapan scaffolding di kelas saat PPL. Melalui demonstrasi kontekstual bersama kelompok, saya belajar bahwa penerapan scaffolding tidak hanya soal strategi mengajar, tetapi juga melibatkan kepekaan terhadap kondisi siswa dan dinamika kelas. Saya menyadari bahwa kolaborasi dengan rekan sangat membantu memperkaya pemahaman dan memperkuat rasa percaya diri. Selain itu, saya belajar tentang pentingnya komunikasi terbuka dan refleksi antar anggota kelompok.
Saya kini memahami bahwa scaffolding dalam ZPD adalah fondasi penting dalam membangun pembelajaran yang bermakna. Pemahaman saya berkembang dari sekadar “bantuan sementara” menjadi pendekatan strategis yang menuntut empati, observasi, dan perencanaan. Hal baru yang saya pahami adalah bahwa keberhasilan scaffolding sangat dipengaruhi oleh ketepatan waktu, jenis bantuan, dan kedalaman relasi guru-siswa. Saya ingin mempelajari lebih lanjut tentang teknik-teknik konkret dalam scaffolding untuk siswa dengan kebutuhan belajar yang berbeda. Pembelajaran ini sangat berkaitan dengan mata kuliah Prinsip Pengajaran dan Asesmen, terutama dalam aspek diferensiasi pembelajaran dan penilaian formatif. Saya juga mengaitkannya dengan Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) karena scaffolding menuntut guru memahami emosi, motivasi, dan hubungan interpersonal. Dalam Filosofi Pendidikan, saya melihat nilai humanisme dan konstruktivisme sangat relevan dalam penerapan scaffolding.
Gambar 1. Proses pemberian scaffolding di kelas
Sumber: Dokumentasi pribadi
Pembelajaran ini sangat bermanfaat untuk kesiapan saya sebagai calon guru. Saya menyadari bahwa peran guru bukan sekadar penyampai materi, tetapi sebagai fasilitator dan pembimbing proses belajar siswa. Dalam skala 1–10, saya menilai kesiapan saya saat ini berada di angka 7. Alasannya, saya telah memahami dasar konsep dan melihat relevansi praktiknya, namun masih perlu memperdalam penerapan konkret di kelas. Untuk menerapkannya secara optimal, saya perlu mempersiapkan:
-
Rencana pembelajaran yang fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan siswa.
-
Strategi scaffolding yang beragam.
-
Kemampuan observasi yang tajam terhadap ZPD peserta didik.
-
Kemampuan refleksi dan evaluasi untuk mengukur efektivitas strategi yang digunakan.

Komentar
Posting Komentar